9 October 2018

Penyesalan Zainudin, Tahta Putri Mako, Dan Cintaku



Di balik penyesalan Zainudin

Zainudin : Sembari memeluk erat tubuh Hayati yang telah tiada, setengah berbisik zainudin kembali melapaskan dan mengulangi isi surat terahir dari Hayati sebelum pergi meninggalkannya untuk selamanya. aku cinta engkau, dan kalau kumati, adalah kematianku di dalam mengenang engkau. Bisik zainudin sembari menangis dan memeluk erat jazad hayati.
‘’ Ibarat nasi telah menjadi bubur, sebua penyesalan pasti datang kemudian’’ , padahal sebelum kepergian Hayati dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck  ,  Zainudin telah menyuruh hayati pulang kekampung halamanya setelah hayati sempat tinggal di kediaman zainudin beberapa bulan terahir. Alasan apa zainudin menyuruh pulang Hayatiq? padahal mereka sudah tinggal bersama saat ini!, bukankah mereka berdua masih saling mencintai?...
  Alasanya  zainudin,dirinya  masih merasa sakit hati atas ketidak setiaan Hayati dan keluargannya, yang tegah menolak lamaran dirinya dengan dalih bahwa selain orang miskin dan bukan dari darah bangsawan, zainudin berasal dari garis keturunannya tidaklah jelas di bandingkan dengan Hayati seorang dara manis keturunan bangsawan. Bilah kita baca kisah cinta mereka dari sebua novel  atau kita tonton filem mereka dengan judul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck yang merupakan film drama romantis Indonesia tahun 2013 yang disutradarai oleh Sunil Soraya dan diproduseri oleh Ram Soraya, yang  diadaptasi dari sebua novel berjudul sama karangan Buya Hamka. Tenggelamnya Kapal Van der Wijck mengisahkan tentang perbedaan latar belakang sosial yang menghalangi hubungan cinta sepasang kekasih hingga berakhir dengan kematian. Dapat kita petik bahwa latar belakang sosial sangat berpengaruh dalam kehidupan kita sehari-hari. Max Weber dalam (J Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, 2006:18) mengklasifikasikan empat jenis tindakan sosial yang mempengaruhi sistem dan struktur sosial masyarakat yaitu; 1. Rasionalitas instrumental. Yaitu tindakan sosial yang dilakukan seseorang didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan ketersediaan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. 2. Rasionalitas yang berorientasi nilai.  Alat-alat yang ada hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sementara tujuan-tujuannya sudah ada didalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut., 3. Tindakan tradisional. Seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang diperoleh dari   nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar  atau perencanaan, 4. Tindakan afektif. Tindakan ini didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan sadar. Tindakan afektif bersifat spontan, tidak rasional dan merupakan refleksi emosional dari individu. 
 Hanya karena tindakan efektif yang dilakuan oleh Zainudin dirinya harus menangung penyesalan hingga akhir hayatnya. Begitu juga dengan orang tua  Hayati, seandainya tidak membeda-bedakan garis keturunan dan derajat saya yakin semua tidak akan terjadi. Banyak orang-orang diluar sana yang dapat merajut hubungan rumah tangga yang sakina mawadha,wahrohma berasal dari orang-orang tidak mampuh. Menurut Eric Fromm: cinta adalah suatu seni, Salah satu esensi dari cinta adalah adanya kreativitas dalam diri seseorang, terutama dalam aspek memberi dan bukan hanya menerima. Nah berati harta dan warisan tidaklah menjamin seseorang akan hidup bahagia, namun justru dengan cintah mereka dapat menumbuhkan kretaifvitas mereka untuk membahagiakan pasangan masing-masing.

1. Tulisan ini berupa non fiksi semata untuk untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Metode Penelitian Komunikasi , penulisnya merupakan mahasiswa STISIPOL Candradimuka Palembang Jurusan Ilmu Komunikasi semester V.
2. Refprensi diambil dari film drama romantis Indonesia tahun 2013 yang disutradarai oleh Sunil Soraya dan diproduseri oleh Ram Soraya, yang  diadaptasi dari sebua novel karangan Buya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.
3. Max Weber dalam (J Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, 2006:18) mengklasifikasikan empat jenis tindakan sosial.


Salah satu contoh kisah yang berjudul Kisah Putri Mako yang Memilih Cinta ketimbang Tahta’’ Oleh: Aulia Adam - 24 Mei 2017, kisah ini mengisahkan seorang Putri Mako dari Jepang lebih memilih melepaskan kebangsawanan demi cintanya kepada seorang rakyat jelata. Putri Mako, cucu tertua Kaisar Jepang Akihito  jadi kepala berita di sejumlah media terkait keputusan kontroversialnya melepaskan gelar kebangsawanan demi menikahi rakyat biasa. Konstitusi di Jepang memang mengatakan, perempuan dalam keluarga kerajaan harus melepas kebangsawanannya jika menikahi pria dari rakyat biasa. Pria yang merebut hati Putri Mako itu bernama Kei Komuro, seorang karyawan di sebuah badan hukum di Yokoshima, Kei memberanikan diri melamar kekasihnya, yang jelas-jelas bukan orang sembarangan. Lamaran itu rupanya tak hanya diterima Putri Mako, tapi juga direstui kedua orang tuanya, Pangeran Naruhito dan Putri Kiko. Bahkan juga mendapat restu dari kakek-neneknya, Kaisar Akihito dan Permaisuri Michiko. Tanggal pertunangan mereka, seperti dikutip Japan Times, akan diumumkan pertengahan Juni mendatang, dan pesta pernikahannya sendiri direncanakan berlangsung tahun depan.
  Fakta bahwa Putri Mako harus rela meninggalkan tahta kebangsawanannya dan mengikuti suami jadi rakyat biasa. Aturan Kekaisaran Jepang yang menganut sistem patriarkat memang belum adil pada perempuan, sebab aturan yang sama tak berlaku pada laki-laki di keluarga Kekaisaran. Tante dan nenek Putri Mako: Putri Masako dan Permaisuri Michiko sendiri adalah keturunan orang biasa yang dipersunting pangeran dan kaisar  anehnya kaisar tidak harus melepaskan tahtanya karena menikahi rakyat jelata, justru sang rakyatlah terangkat derajatnya menjadi ratu karena disuting kaisar. Tapi, Putri Mako sepertinya tak peduli, risiko kehilangan kebangsawanan pun tampaknya siap dijalaninya. Ia memang bukan Putri Jepang pertama yang akan dikeluarkan dari silsilah tahta. Bibinya—adik bungsu sang ayah—Putri Sayako menikahi pegawai negeri di Kantor Gubernur Tokyo pada 2005 silam, dan tentu saja kehilangan kebangsawanannya. Ia mengganti namanya menjadi Sayako Kuroda, mengikuti sang suami, Yoshiki Kuroda. Dalam sejarah manusia, para bangsawan dari berbagai kerajaan dan kekaisaran di dunia memang punya aturan sendiri tentang pernikahan. Kebanyakan dari mereka menimbang pernikahan sebagai tindakan politik, ekonomi, dan diplomatik untuk mempertahankan kekuasaan, memperluas daerah, gencatan senjata, mempertahankan darah biru, atau menjaga eksklusivitas. Praktik ini terjadi di sepenjuru dunia. Misalnya Kerajaan Inggris, Dinasti Cina, bahkan Kerajaan-Kerajaan Indonesia di zaman Hindu-Buddha hingga pasca-proklamasi: Ratu Elezabeth II menikahi Pangeran Phillip yang masih sepupu jauhnya; Pangeran Dorgon, bupati Qing Manchu di China menikahi Putri Yishun dari Korea; bahkan dalam tahapan keraton, Raden Ajeng Kartini disuruh menikah dengan Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang demi menjaga kedamaian.
  Dari cuplikan diatas dapat lebih menyakinkan kita bahwa Patriarkat, sistem pengelompokan sosial yang sangat mementingkan garis turunan bapak: seorang anak harus menyandang nama ayahnya karena sistem keluarga dan pewarisannya adalah sistem patriarkat. Tidak semua berlaku di penjuru dunia ini, ternyata banyak orang-orang relah meninggalkan kekayaan bahkan tahtahanya hanya mencari kedamaian hati mereka bersama orang-orang yang mereka sayangi, meskipun penderitaan yang akan mengancam kehidupan mereka selanjutnya. Menurut Dunvall dan Miller (dalam Hasanah, 2012) mendefinisikan pernikahan sebagai hubungan antara pria dan wanita yang telah diakui dalam masyarakat yang melibatkan hubungan seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak, dan saling melengkapi kekurangan serta mengetahui tugas masing-masing sebagai suami dan istri. Menurut ajaran Islam  “Dan nikah kanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. JIKA MEREKA MISKIN ALLAH AKAN MENGKAYAKAN MEREKA DENGAN KARUNIANYA. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha Mengetahui.” (An Nuur 32) Sedangkan menurut Erich Fromm (1983) dalam bukunya Seni Mencintai menyebutkan bahwa cinta itu terutama memberi, bukan menerima, dan memberi merupakan ungkapan yang paling tinggi dari kemampuan. yang paling penting dalam memberi adalah hal-hal yang sifatnya manusiawi, bukan materi. Cinta selalu menyertakan unsur-unsur dasar tertentu, yaitu pengasuhan, tanggung jawab, perhatian, dan pengenalan.. jelas sudah berarti kekayaan, tahta tidakla menjamin kebahagian seseorang tanpa didasari cinta dan kasih sayang, harta, tahta dan derajat dapat kita cari namun kebahagian, kedamaian hati tidak semua orang dapat merasakan itu.
1. Putri Mako Memilih Cinta ketimbang Tahta  Aulia Adam - 24 Mei 2017,
2. Dunvall dan Miller ( Hasanah, 2012)
3. An Nuur 32
4. Erich Fromm (1983)
5. Patriarkat, sistem pengelompokan sosial


 Semua itu dapat dirasan oleh pengalaman saya pribadi bahwa begitu beratnya memperjuangkan sebuah cinta terhadap orang yang kita sayangi, tidak hanya pengorbanan biaya, kesabaran serta keihklasan juga sangat dibutuhkan dalam sebua perjuangan yang namanya Cinta, terkadang air mata merupakan sebua bubumbu dalam merajut sebua hubungan rumah tangga, apa lagi yang menjadi penghalang antara kita dengan orang yang kita sayangi itu adalah orangtua dan saudara kita sendiri. Berat rasanya harus mengambil sebuah keputusan kita harus pilih yang mana, ya yang namanya hidup kita haru memiliki komitmen dan berani ambil resiko apa lagi seorang lelaki harus berjiwa kesatria harus berani membuat keputusan apapun resikonya.
  Saya ceritakan sedikit, saya putra bungsu dari enam saudara yang tinggal di sebuah perkampungan suku musi, sedangkan istri saya anak tertua dari enam saudara keturunan betawi yang hidup dan besar dikota metropolitan yang terkenal yang sering di sebut-sebut kota palembang. Adanya hubungan lintas budaya tersebut membuat hubungan cinta kami ditolak keras oleh kedua keluarga kami, apa alasanya ? jawabnya hanya singkat yaitu adanya prasangka Sosial .  orangtua dan saudara-saudara saya berprasangka atau beranggapan bahwa orang kota hanya bisa bersolek bercantik diri, jalan-jalan ke mall, pemalas dan hanya bisa menghabiskan uang suami, apa bilah suami tidak bisa memenuhi kebutuhannya maka si wanita akan pergi meninggalkan sang suami. Begitu juga sebaliknya orang tua dan saudara-saudara istriku beranggapan bahwa peria keturunan musi pemalas, kasar suka main tangan dan suka beristri banyak. Namun dengan keyakinan dan berdasarkan kasih sayang yang kami miliki walaupun berat akhirnya pernikahan kami terlaksana meskipun sempat tertunda selama satu tahun, alhamdulillah hingga delapan tahun pernikahan kami apa yang menjadi dugaan dan prasangka dari kedua orang tua sungguh bertolak belakang, biarpun kami tinggal dirumah kontrakan dengan perekonomian sangatlah  pas-psan namun kami bahagia dan saling melengkapi, saya yang dulu putus sekolah malahan sekarang bakal menjadi seorang sarjanah.
       Menurut Mar’at (1981), prasangka sosial adalah dugaan-dugaan yang memiliki nilai positif atau negatif, tetapi biasanya lebih bersifat negatif. Sedangkan menurut Brehm dan Kassin (1993), prasangka sosial adalah perasaan negatif terhadap seseorang semata-mata berdasar pada keanggotaan mereka dalam kelompok tertentu. Dari sini dapat kita lihat apa penyebab sehingga terjadinya pertentangan-pertentangan dari kedua kelompok, mulai dari kisah Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, orang tua Hayati berprasangka bahwa Zainudin tidak akan mampuh membahagiakan anaknya dengan alasan zainudin selain orang miskin juga berketurunan tidak jelas, Putri Mako harus kehilangan gelar bangsawan hanya karena adanya Patriarkat, sistem pengelompokan sosial di lingkungan kaisar, sayapun sempat sedikit putus asa karena adanya prasangka sosial. Prasangka sosial menurut Mar’at (1981) dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
1. Pengaruh Kepribadian, Kepribadian otoriter mengarahkan seseorang membentuk suatu konsep prasangka sosial, karena ada kecenderungan orang tersebut selalu merasa curiga, berpikir dogmatis dan berpola pada diri sendiri.
2. Pendidikan dan Status, Semakin tinggi pendidikan seseorang dan semakin tinggi status yang dimilikinya akan mempengaruhi cara berpikirnya dan akan meredusir prasangka sosial.
3. Pengaruh Pendidikan Anak oleh Orangtua, tua memiliki nilai-nilai tradisional yang dapat dikatakan berperan sebagai family ideologi yang akan mempengaruhi prasangka sosial.
4. Pengaruh Kelompok, Kelompok memiliki norma dan nilai tersendiri dan akan mempengaruhi pembentukan prasangka sosial pada kelompok tersebut
5. Pengaruh Politik dan Ekonomi, telah banyak memicu terjadinya prasangka social terhadap kelompok lain misalnya kelompok minoritas.
6. Pengaruh Komunikasi  juga memiliki peranan penting dalam memberikan informasi yang baik, sikap akan banyak dipengaruhi oleh media massa seperti radio, televisi, yang kesemuanya hal ini akan mempengaruhi pembentukan prasangka sosial dalam diri seseorang.
   Meskipun demikian semua dapat kita atasi jika masyarakat kita sudah menerapkan  Akulturasi, menurut Koentjaraningrat, akulturasi suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. Salah satu contoh dari proses akulturasi di Indonesia adalah yang terjadi di daerah transmigrasi. Di antara berbagai suku bangsa yang terdapat di daerah transmigrasi, secara alami terjadi pertemuan dua budaya atau lebih. Akulturasi dapat terjadi melalui kontak budaya yang bentuknya dapat bermacam-macam salah satunya melalui pernikahan yang berbeda kebudayaan.

1. Mar’at (1981), prasangka sosial.
2.  Koentjaraningrat, akulturasi
3.  Armadipujangga.blogsport.com

Entri yang Diunggulkan

Hikma Yudisium Daring (Online) Menjadi Kebanggan Orangtua

Akibat Covid-19 atau yang sering kita sebut Corona membuat sebagain orang merasa kecewa, karena Gordon yang menjadi kebanggaan seharusnya di...