Calon PRESIDEN 2019
( Analisis Fenomenologis Di Tinjau Dari Internet Menjadi Wadah Opini Partisan )
Oleh : Armadi Mahasiswa STISIPOL Candradimuka Guna Memenuhi Tugas Matakuliah Metode Penelitian Kualitatif
ABSTRAK - Pesta demokrasi 2019 tinggal menghitung hari, para pengantin telah bermunculan mulai dari Pengantin PRESIDEN, DPRRI,DPDRI, DPR Provinsi dan DPRD kabupaten Kota sudah mulai menebar undangan berupa sepanduk, bener, iklan dan bahkan sudah mulai door to door menyapa dan mengulurkan tangan kepada rakyat dan masyarakat demi mengharap simpati agar terpilih mendi pemenang pada tanggal 14 April 2019 yang akan datang. Adanya pernikahan lima surat suara ini, otomatis para simpatisan akan bermunculan dengan sendiri, para pendukung dari segala latar belakang akan mulai beradu argumentasi mualai dari perdebatan didunianyata, media bahkan sekarang sudah menjadin tabuh di mesia sosial.
Kondisi politik saat ini jauh berbeda dari sebelumnya, Pemilu 2009 lalu meskipun dalam satu keluarga memiliki perbedaan pandangan politik namun tidak terbawa perasaan sehingga menimbulkan komplik. Berbeda dengan saat ini, kini pilihan politik mulai mengakar ke permukaan karena adanya fragmentasi pandangan. Hal ini merebak dari adanya polarisasi pilihan. Mulai dari urusan kesukuan, ras, sampai pendapat agama. Menurut Anto Sudarto, Dosen Komunikasi Politik Universitas Tarumanegara, dalam Politik Hard Core, polarisasi masyarakat bermula pada Pilkada DKI Jakarta 2012, Jasmev (Jokowi-Ahok Social Media Volunteer), dan berlanjut hingga kini (MCA, SEWORD, dan lainnya). Bukti polarisasi ialah pada tingginya sentimen di ruang publik. Salah satunya internet. As usual currently, media sosial kini diwarnai dengan berita bohong, saling nyinyir, Sehingga adanya ide kebijakan justru dibenturkan oleh lawannya atas nama politik. Akibatnya, masyarakat tidak bertambah cerdas melihat suatu gejala sosial. Boro-boro memberikan kritik membangun hingga saran solutif, kini malah diisi dengan sentimen.
Mengapa perdebatan politik ada di dunia maya? Ada beberapa indikasi. Pertama, masyarakat tidak mendapat ruang untuk mengutarakan pendapat di ruang publik. Kedua, bergesernya fungsi ruang publik. Bergesernya fungsi ruang publik yang menjadi media bagi masyarakat untuk berpendapat, apapun pandangan politiknya bergeser menjadi wadah sentimen. Instrumen bergesernya ruang publik ialah adanya framing informasi melalui opini partisan di media digital, terutama peran pendukung fanatik kelompok tertentu. Pendukung ini, boleh disebut, bersikap ekstrem dalam mendukung tokohnya. Sehingga kelompok ekstrem ini memiliki kecenderungan untuk merendahkan pendapat yang berlawanan darinya. Secara teori, perbedaan pandangan politik seharusnya menstimulasi pandangan kritis (Carpini, Cook, & Jacobs, 2004 dalam Sudarto, 2018). jangankan untuk menciptakan ruang diskusi yang hangat di antara berbagai pendapat politik, justru seakan-akan menjadi mengkotak-kotakkan opini masyarakat. Akibatnya, masyarakat menjadi kurang toleran terhadap opini yang bertentangan (Sunstein, 2008). Inilah penyebab dari polarisasi masyarakat.
Perilaku ekstrem ini subur di internet. Mengapa internet menjadi wadah penyebaran opini partisan? Menurut Patricia Wallace (2016) dalam The Psychologist Internet, perilaku ekstrem terjadi akibat; pertama, tingkat anonimitas tinggi; kedua, kesadaran rendah (untuk bertanggung jawab atas ekspresinya); ketiga, salah persepsi jumlah audiens (tidak menyadari bahwa ekspresinya di media sosial diperhatikan orang banyak); keempat, merasa berada di kumpulan komunitas yang sama.
Perilaku pendukung ekstrem ini menyebabkan terkotak-kotaknya masyarakat. Keadaan itu mengarahkan masyarakat memasuki era post-truth, era di mana opini lebih diyakini kebenarannya ketimbang fakta. Dalam era ini, kepercayaan publik dibangun atas keyakinan dan kepentingan segolongan masyarakat yang belum tentu dapat diuji kebenarannya. Ketika diuji kebenarannya, maka sentimen dihadirkan. Akhirnya, masyarakat lebih mempercayai opini tersebut tanpa menguji kebenarannya. Sayangnya, pihak-pihak yang seharusnya dapat dianggap sebagai kebenaran, seperti institusi pendidikan dan kalangan pakar, justru tenggelam dalam sirkulasi sentimen itu sendiri. Keadaan ekstrem, menjelang Pilpres 2019, justru ramai-ramai dilakukan oleh semua golongan. Gak mau kalah, istilahnya. Baik pendukung Jokowi maupun Prabowo. Dari yang seharusnya perbedaan pilihan mengembangkan diskusi politik yang rasional, apapun topik perbincangannya, kini yang didapat hanyalah sentimen belaka.
Mengapa perdebatan politik ada di dunia maya? Ada beberapa indikasi. Pertama, masyarakat tidak mendapat ruang untuk mengutarakan pendapat di ruang publik. Kedua, bergesernya fungsi ruang publik. Bergesernya fungsi ruang publik yang menjadi media bagi masyarakat untuk berpendapat, apapun pandangan politiknya bergeser menjadi wadah sentimen. Instrumen bergesernya ruang publik ialah adanya framing informasi melalui opini partisan di media digital, terutama peran pendukung fanatik kelompok tertentu. Pendukung ini, boleh disebut, bersikap ekstrem dalam mendukung tokohnya. Sehingga kelompok ekstrem ini memiliki kecenderungan untuk merendahkan pendapat yang berlawanan darinya. Secara teori, perbedaan pandangan politik seharusnya menstimulasi pandangan kritis (Carpini, Cook, & Jacobs, 2004 dalam Sudarto, 2018). jangankan untuk menciptakan ruang diskusi yang hangat di antara berbagai pendapat politik, justru seakan-akan menjadi mengkotak-kotakkan opini masyarakat. Akibatnya, masyarakat menjadi kurang toleran terhadap opini yang bertentangan (Sunstein, 2008). Inilah penyebab dari polarisasi masyarakat.
Perilaku ekstrem ini subur di internet. Mengapa internet menjadi wadah penyebaran opini partisan? Menurut Patricia Wallace (2016) dalam The Psychologist Internet, perilaku ekstrem terjadi akibat; pertama, tingkat anonimitas tinggi; kedua, kesadaran rendah (untuk bertanggung jawab atas ekspresinya); ketiga, salah persepsi jumlah audiens (tidak menyadari bahwa ekspresinya di media sosial diperhatikan orang banyak); keempat, merasa berada di kumpulan komunitas yang sama.
Perilaku pendukung ekstrem ini menyebabkan terkotak-kotaknya masyarakat. Keadaan itu mengarahkan masyarakat memasuki era post-truth, era di mana opini lebih diyakini kebenarannya ketimbang fakta. Dalam era ini, kepercayaan publik dibangun atas keyakinan dan kepentingan segolongan masyarakat yang belum tentu dapat diuji kebenarannya. Ketika diuji kebenarannya, maka sentimen dihadirkan. Akhirnya, masyarakat lebih mempercayai opini tersebut tanpa menguji kebenarannya. Sayangnya, pihak-pihak yang seharusnya dapat dianggap sebagai kebenaran, seperti institusi pendidikan dan kalangan pakar, justru tenggelam dalam sirkulasi sentimen itu sendiri. Keadaan ekstrem, menjelang Pilpres 2019, justru ramai-ramai dilakukan oleh semua golongan. Gak mau kalah, istilahnya. Baik pendukung Jokowi maupun Prabowo. Dari yang seharusnya perbedaan pilihan mengembangkan diskusi politik yang rasional, apapun topik perbincangannya, kini yang didapat hanyalah sentimen belaka.
Seseorang cenderung menyesuaikan opini pribadinya dengan opini dominan yang berkembang. Mengapa? Agar orang tersebut tidak merasa disudutkan. Itu adalah petikan dari Elizabeth Noelle-Neumann (1977) dalam Spiral of Silence. Lanjutnya, di antara masyarakat ada juga segolongan yang tidak khawatir disudutkan karena opininya berbeda. Mereka adalah Hard-Core dan Avant-Garde.
Hard-Core ialah ekstrem partisan, fanatis sejati, Asshabiyyah, yang mengekspresikan dukungannya secara buta, dan ketika menemukan pandangan yang berbeda darinya, maka akan mengerahkan sentimen untuk menjatuhkannya. Mereka inilah yang menjadi tersangka dari banyaknya sentimen di media sosial. Sebaliknya, Avant-Garde bukanlah ekstrem partisan. Secara definisi ialah golongan perintis/pelopor. Dalam kehidupan nyata mereka berposisi sebagai "independen" yang kritis pada pihak mana pun. Karenanya, mereka menghadirkan diskusi ketimbang kultus akut pada kandidat pilihannya, sebagaimana Hard-Core.
Hard-Core ialah ekstrem partisan, fanatis sejati, Asshabiyyah, yang mengekspresikan dukungannya secara buta, dan ketika menemukan pandangan yang berbeda darinya, maka akan mengerahkan sentimen untuk menjatuhkannya. Mereka inilah yang menjadi tersangka dari banyaknya sentimen di media sosial. Sebaliknya, Avant-Garde bukanlah ekstrem partisan. Secara definisi ialah golongan perintis/pelopor. Dalam kehidupan nyata mereka berposisi sebagai "independen" yang kritis pada pihak mana pun. Karenanya, mereka menghadirkan diskusi ketimbang kultus akut pada kandidat pilihannya, sebagaimana Hard-Core.
Pustaka :
Muhammad Husni Abdul Fatah pelajar di SMA Pesantren Unggul Al Bayan, berpartisipasi pada Santri Writer Summit 2017, https://news.detik.com/kolom/d-4373674/pilpres-2019-sikap-milenial
(Armadi)
No comments:
Post a Comment